Kesucian Hati

Kamis, Februari 26, 2009

Suatu hari Rasulullah berkata kepada sahabatnya, ''Kalau kalian ingin tahu calon penghuni surga, lihatlah nanti seorang hamba Allah yang duduk di pojok masjid.'' Para sahabat dengan rasa penasaran ingin melihat sosok yang digambarkan Rasulullah. Setelah tiga hari diamati, ternyata orang tersebut hanya orang tua biasa tanpa memperlihatkan kelebihan khusus.

Karena penasaran, seorang sahabat sengaja bermalam di rumah Pak Tua itu untuk melihat langsung amalannya yang membuatnya menjadi calon penghuni surga. Setelah diamati, tidak ditemukan sebuah amalan pun yang melebihi amalan sahabat Rasulullah yang lain.

Akhirnya sahabat itu memberanikan diri bertanya, ''Amalan apa yang menyebabkan engkau dikatakan Rasulullah calon penghuni surga?'' Pak Tua itu menjawab, ''Tidak ada wahai sahabatku, tapi mungkin ada dua hal yang selalu saya lakukan sebelum saya tidur: pertama, sebelum berbaring tidur saya membuang rasa dendam kepada manusia yang menyakiti saya di siang hari; kedua, saya akan memaafkan kesalahan orang lain kepada saya sebelum dia sempat meminta maaf.''

Akhirnya sahabat tersebut yakin bahwa inilah yang dimaksud Rasulullah dengan perbuatan yang membuat seorang manusia masuk surga. Seluruh ibadah dan kewajiban serta larangan Allah terhadap manusia tujuan akhirnya satu, yaitu menjadi manusia yang memiliki hati yang bersih. Karena, dari hati yang bersihlah lahir sifat mulia dan terpuji yang sangat berguna untuk membentuk suatu masyarakat yang harmonis dan aman.

Kedua sifat yang dijelaskan dalam kisah di atas merupakan sumber kegalauan hati yang pada gilirannya akan menyibukkan pikiran dengan rasa dendam dan selalu memikirkan kesalahan orang lain. Akibatnya, keinginan untuk beribadah berkurang; rasa khusuk dalam beribadah akan terganggu.

Di sinilah kegembiraan setan, dengan kita membukakan pintu hati untuk digoda agar lupa kewajiban sebagai hamba Allah. Seluruh pikiran terbelenggu untuk selalu melihat orang dengan segala nikmat dan bencana. Ketika orang lain mendapat nikmat, hatinya menjadi gelisah, dan ketika mendapat bencana hatinya gembira di atas penderitaan orang lain.

Memperoleh kesucian hati bukanlah pekerjaan yang mudah. Hati manusia bagaikan gelombang. Selalu berubah-ubah sesuai kekuatan ketakwaan. Manusia harus melatih hati dengan amal yang mulia. Dalam istilah ilmu tasawuf dikenal dengan istilah mujahadah, dan dalam menjalaninya harus melakukan secara sungguh-sungguh.

Ada seorang ulama yang untuk melatih sifat rendah hati rela melakukan pekerjaan yang dianggap orang lain hina, dan berpakaian murahan selama bertahun-tahun. Tak lain tujuannya adalah agar tidak terdapat sifat sombong dalam hati yang sangat dimurka Allah. Allah akan menerima manusia berhati suci di akhirat kelak dengan maghfirah dan rahmat yang berlimpah. Sedangkan hati yang busuk, niscaya murka Allah yang akan diterima.

Sumber: republika

Read More ..

CITRA DIRI

Sebagai makhluk moral, manusia selalu dihadapkan pada piliham untuk berbuat baik dan buruk. Kecenderungan baik dan buruk itu terus bergulat dalam diri manusia sepanjang waktu. Namun perlu disadari bahwa kehormatan dan kemuliaan manusia justru terletak pada kemampuannya mengorganisasi dan memanage kecenderungan-kecenderungan yang bersifat antagonistik itu secara baik dan proporsional.

Dalam terminologi akhlak Islam, usaha manusia untuk membangun kehormatan dan citra diri yang baik sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya itu dinamai sifat muru'ah. Muru'ah berarti menjaga diri hingga mencapai puncak kesempurnaannya, sehingga dalam dirinya tak tampak sedikitpun keburukan maupun kekurangan.

Sifat muru'ah menurut Imam Al-Mawardi, menjadi salah satu indikasi kesucian jiwa dan kesuburan budi pekerti. Dikatakan demikian, karena seorang tak disebut memiliki muru'ah kecuali bila ia mampu memelihara diri dari dosa-dosa, tidak berbuat dosa, tidak berbuat zalim, tidak tamak atau loba, tidak membantu orang kuat untuk menghancurkan yang lemah, serta tidak melakukan sesuatu yang dapat merusak nama baik dan kehormatannya. (Kitab Adab Ad-Dunya Wad-Din, hal. 206).

Hakikat muru'ah, seperti terlihat di atas, bertumpu pada pemenuhan kualitas-kualitas moral (akhlakul karimah). Untuk itu, ada sebagaian pakar yang mendefinisikan sifat muru'ah sebagai usaha menghiasi diri demham semua akhlak baik dan menjauhkan diri dari semua akhlak buruk, baik dalam perkataan, sikap, maupun perbuatan.

Dalam pengertian in, maka citra diri yang baik mengani lisan (muru'atul lisan) berarti tutur kata yang manis dan lemah lembut. Citar diri yang baik mengenai sikap dan perangai (muru'atul khulq) berarti kelapangan dan toleransi kepada setiap orang. Citra yang baik mengenai harta (muru'atul mal) berarti distribusi dan penggunaannya secara benar. Sedang citra yang baik mengenai pangkat dan kedudukan (muru'atul jah) berarti penggunaan dan realisasinya sebagai abdi bangsa dan abdi masyarakat.

Untuk membangun sifat muru'ah atau citra diri, kata Ibnul Qoyyim Al-Jauziah, seseorang harus mampu meningkatkan kualitas moral dan akhlaknya baik secara internal, horizontal, maupun vertikal.

Secara internal, ia harus mampu menghiasi diri dengan sifat keutamaan yang memperindah dan mempercantik diri. Secara horizontal, ia harus mampu bergaul dengan orang lain secara baik dan adil, tidak menyakiti dan tidak berbuat seuatu yang dapat membuat mereka merasa terhina. Sedang secara vertikal, ia harus menyadari bahwa Allah SWT selalu mengawasinya serta melihat semua aida dan kekuarangannya. Untuk itu ia harus berusaha menyempurnakan kelemahan dan kekurangannya itu pada setiap saat dengan sekkuat tenaga. (kitab Madrij al-Salikin). (Ilyas Ismail MA)

sumber : Republika

Read More ..